Rumah Kayu Negeri Sakura

Masyarakat negri sakura, Jepang, sejak lama telah menggunakan kayu sebagai bahan utama untuk konstruksi rumah tinggal mereka. Hampir seluruh bagian rumah tinggal seperti kolom, balok, dinding, dan lantai terbuat dari kayu. Kayu-kayu yang digunakan umumnya memiliki berat volume rendah antara 300 sampai 500 kg/m3 yang oleh masyarakat kita jarang sekali dipergunakan untuk bahan konstruksi rumah tinggal. Sebagian kebutuhan bahan kayu masyarakat Jepang diperoleh dari beberapa negara ASEAN seperti Indonesia dan Malaysia. Kayu dipilih oleh masyarakat Jepang karena bahan konstruksi ini memiliki tekstur yang indah, kedekatan emosional (berasal dari alam) dan sangat ramah terhadap lingkungan karena dapat terurai secara alami.

Walaupun dengan kualitas kayu yang lebih rendah, rumah tinggal kayu masyarakat Jepang  terkenal memiliki ketahanan gempa yang baik. Bila dibandingkan dengan bahan konstruksi lainnya seperti beton atau baja, kayu memiliki nilai banding kekuatan terhadap berat yang lebih tinggi sehingga sangat sesuai untuk bahan konstruksi di daerah yang sering terjadi gempa. Dengan berat bangunan yang lebih ringan, maka gaya inertia yang diakibatkan oleh gempa akan menjadi lebih kecil sebagaimana dinyatakan oleh hukum kedua Newton. Selain itu, kayu juga merupakan bahan yang fleksibel sehingga bangunan kayu dapat mengikuti gerakan gempa dengan tingkat kerusakan kecil apabila dirancang secara baik.

Beberapa sifat rumah kayu masyarakat Jepang hasil pengamatan penulis yang secara efektif telah meningkatkan ketahanan terhadap gempa akan diuraikan pada tulisan ini. Prinsip atau sifat rumah kayu tahan gempa sangat penting untuk diketahui oleh masyarakat kita karena negara Indonesia terletak diantara tiga lempeng aktif dunia: lempeng Pacific, Eurasia, dan Indo-Australia yang berpotensi menimbulkan gempa dengan skala kerusakan dari sedang hingga sangat merusak. Terdapat empat sifat utama dari rumah tinggal kayu masyarakat Jepang yang berperan penting dalam meningkatkan ketahanan terhadap gempa. Yang pertama adalah denah persegi dan simetris. Rumah-rumah tinggal kayu Jepang hampir dapat dipastikan berbentuk persegi dengan ukuran panjang tidak lebih dari 1,5 kali ukuran lebar. Disamping itu, jendela atau pintu diletakkan sedemikian sehingga prinsip simetris tetap dipertahankan. Denah yang simetris menyebabkan pusat kekakuan/kekuatan dan pusat massa bangunan terletak pada satu titik yang sama sehingga bangunan terhindar dari bahaya puntir (berputarnya bangunan pada sisi atas relatif terhadap sisi bawah/fondasi) pada saat dilanda gempa.

Sifat kedua adalah penggunaan alat sambung mekanis. Jenis alat sambung mekanis yang umum digunakan adalah paku dan/atau baut serta dilengkapi dengan pelat besi dalam berbagai bentuk dan ukuran. Karena kayu merupakan material dengan kemampuan berperilaku daktail1 yang terbatas, maka kerusakan sambungan diarahkan untuk terjadi terlebih dahulu pada alat sambungnya (paku atau baut) sehingga bangunan terhindar dari keruntuhan seketika. Prinsip ini mirip dengan perilaku kerusakan pada konstruksi beton bertulang tahan gempa. Kemampuan untuk rusak tanpa disertai keruntuhan menunjukkan kemampuan untuk menyerap energi gempa. Sambungan jenis takikan yang tidak disertai alat sambung mekanis sudah tidak lagi dipergunakan. Sambungan dengan model takikan tidak menjamin perilaku rusak yang baik oleh karena sifat mudah pecah/retak kayu jika dibebani gaya geser searah serat atau gaya tarik tegak lurus serat. Selain itu, pembuatan sambungan takikan memerlukan keahlian tersendiri dan waktu tambahan sehingga tidak cocok untuk pembuatan konstruksi rumah sistim pre-fabrikasi.

Sifat ketiga dari rumah tinggal kayu Jepang adalah tersedianya sistim pengaku. Ada dua jenis sistim pengaku yang sering dijumpai pada rumah-rumah tinggal masyarakat Jepang yaitu dinding geser (shear wall) dan sistim pengaku lantai (diafragma). Dinding geser umumnya terbuat dari plywood dengan ketebalan sekitar 12 mm. Dinding plywood ini diikatkan kuat pada kolom di kedua sisi vertikalnya dan diikatkan pada balok kayu horizontal (ring balok atau balok sloof) di kedua sisi lainnya dengan paku untuk setiap jarak 10 cm hingga 15 cm. Sedangkan pengaku diafragma tersusun dari balok-balok kayu yang dipasang saling tegak lurus satu sama lainnya, dan beberapa balok kayu lainnya dipasang secara silang. Jarak antara balok-balok ini sangat rapat agar dapat meningkatkan stabilitas dan mempertahankan bentuk asli bangunan. Kedua jenis pengaku tersebut secara bersama-sama meningkatkan ketahanan gempa bangunan.

Sifat yang terakhir adalah sistim pengangkeran (anchoring) yang kokoh. Umumnya gempa-gempa yang terjadi di Jepang memiliki komponen arah vertikal selain arah horizontal. Agar rumah tidak terlepas dari fondasinya, maka seluruh bangunan harus terikat kuat dengan fondasinya. Rumah tinggal kayu masyarakat Jepang diikatkan ke fondasi beton melalui sistim anchoring tidak hanya pada bagian kolomnya saja, tetapi juga pada seluruh balok sloof untuk setiap jarak 60 cm hingga 1 meter. Besi angker ini yang umumnya berpenampang bulat berulir dengan diameter minimal 13 mm disambungkan dengan balok sloof melalui beberapa alat sambung paku dan pelat besi, dan ujung lainnya ditanamkan ke dalam fondasi beton bertulang. Dengan sistim pengangkeran yang kokoh ini, maka seluruh konstruksi (struktur rumah beserta fondasinya) menjadi satu kesatuan dalam mendukung gaya gempa.

1 daktail: perubahan bentuk akibat pembebanan tanpa disertai kegagalan/keruntuhan